Powered By Blogger

Senin, 27 April 2009

Dilema Ujian Nasional (UN), kelulusan siswa dikembalikan ke sekolah

Menjelang akhir tahun pelajaran di seluruh sekolah tingkat dasar / MI, menengah pertama/MTs, dan menengah atas/MA masing-masing institusi sekolah sibuk mempersiapkan strategi mengahadapi ujian, khususnya Ujian Akhir Nasional (UAN). Setiap tahun pula gejolak terjadi ditingkat siswa kelas akhir masing masing jenjang, maupun kalangan guru menyikapi UAN sebagai salah satu kriteria penentuan kelulusan siswa.
Beberapa tahun terakhir banyak terjadi penolakan UAN sebagai salah satu kriteria kelulusan siswa, namun pemerintah (MENDIKNAS) bergeming dengan dalih untuk pemetaan tingkat kemampuan siswa .
Dengan dalih meningkatkan kualitas, standar nilai kelulusan setiap tahun dinaikkan pula. Sejak tahun lalu untuk SMA jumlah mata pelajaran ditambah dari 3 (tiga) pelajaran menjadi 6 (enam) pelajaran dengan syarat kelulusan juga ditinggikan. Tahun ini juga ada indikasi kriteria dinaikkan lagi, juga dalam pelaksanaan penyelenggaraan diperketat dengan memberikan kewenangan lebih luas kepada pihak independen. Sebagai contoh pada tahun-tahun sebelumnya pihak perguruan tinggi (team independent) hanya mengutus mahasiswa senior, tahun berikutnya harus dosen. Dalam kegiatannya sebatas memantau pelaksanaan UAN. Tetapi sekarang sudah diberikan wewenang sebagai penanggung jawab untuk pelaksanaan di tingkat satuan pendidikan. Pada tahun-tahun lalu dalam pemantauannya di sekolah, team independen tidak boleh masuk ke dalam ruangan maka pada tahun ini kemungkinan team independen bisa masuk ke ruangan bahkan lebih dari itu sebagai pengawas ruangan, misalnya?
Pada tahun yang lalu pemindaian/ scaning LJUN dilakukan di panitia tingkat propinsi, maka mulai tahun sekarang pemindaian/ scaning LJUN di lakukan di Perguruan Tinggi Negeri terdekat atau Swasta yang diberi mandat. Konon, jika pemindaian dilakukan di propinsi maka kepala sekolah masih bisa “bermain”. Timbul pertanyaan,”Mengapa hal-hal seperti ini terjadi?” Secara tidak langsung pemerintah (MENDIKNAS) mengakui bahwa dalam pelaksanaan UAN memang terjadi hal-hal yang tidak semestinya (dibaca kecurangan). Tetapi, mengapa mesti diteruskan dan dipaksakan? 
Sudah banyak saran dan penolakan dari masyarakat maupun pakar pendidikan berkaitan dengan kegiatan UAN sebagai kriteria penentu kelulusan. Hasil UAN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa memang kurang bijaksana. Batas/grade dan rata-rata nilai yang ditentukan oleh BSNP (Badan Satandarisasi Nasional Pendidikan) dirasakan sebagian besar siswa terlalu berat. Dengan rata-rata nilai dari 6 mata pelajaran (tingkat SMA) harus 5,5 dan minimal 4,0 untuk salah satu pelajaran serta yang lainnya harus lebih dari 4,25 masih sangat sulit. Karena sebenarnya tidak bisa semua siswa harus mempunyai kemampuan merata untuk setiap mata pelajaran. Kalau siswa sudah mempunyai kompetensi yang optimum disalah satu mata pelajaran, biarkan dia mengembangkan kompetensinya tersebut. Sehingga mata pelajaran yang lain hanya sebagai pendukung/pelengkap, yang penting nilai rata-rata (misalnya 5,5) telah tercapai maka siswa tesebut harus dinyatakan lulus.
Sebagai contoh siswa jurusan Bahasa atau jurusan Ilmu Sosial, betapa sulitnya untuk memperoleh nilai 4,0 untuk mata pelajaran matematika. Padahal kemampuan bahasa Inggris atau yang lain sangat bagus. Karena nilai matematika tidak memenuhi grade, meskipun nilai rata-ratanya tinggi maka siswa tersebut tidak lulus, kasihan. 
Di sisi lain siswa yang mempunyai ketrampilan tertentu atau skill yang bersifat psikomotor baik pada cabang-cabang tertentu misalnya olah raga, musik, wirausaha dsb, menjadi tidak lulus karena ada satu pelajaran tidak memenuhi standar. Padahal seorang olah ragawan atau musikus mungkin merasa tidak terlalu penting ilmu matematika. 
 Di dalam UAN aspek psikomotor jelas sangat sulit diukur, maka sekali lagi sangat tidak bijaksana jika hasil UAN sebagai syarat kelulusan. Akibatnya munculah berbagai kecurangan-kecurangan disana-sini karena “pemaksaan” tersebut.
Penentuan kelulusan / keberhasilan siswa harus diperoleh berdasarkan hasil proses yang panjang dari awal sampai akhir. Bukan hasil dari tes tertulis satu-dua hari atau 5-6 pelajaran dari belasan pelajaran yang ia pelajari. Maka kelulusan siswa harus diserahkan sepenuhnya pada dewan guru yang bersangkutan, karena merekalah yang lebih tahu kondisi siswa di lapangan.
Sungguh sedih dan miris mendengar kegiatan UAN diberbagai jenjang sekolah dan berba

Sabtu, 25 April 2009

Negara Bukan Bukan

Menarik, menyimak pernyataan Hidayat Nur Wahid (HNW) dalam satu acara di TV swasta Indonesia. Ketika ditanya oleh seorang pengamat politik dalam kapasitas HNW sebagai ketua MPR, tentang sistem pemerintahan Indonesia sudah baik/belum, atau perlu ada perubahan?
Dijawab oleh HNW, "Setiap negara memiliki ciri khas masing-masing, termasuk sistem pemerintahannya".
" Suatu ketika saya ditanya, apakah sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensial? saya jawab, bukan. apakah sistem pemerintahan Indonesia adalah Parlementer? saya jawab, bukan.
"Apakah Indonesia negara agama?", saya jawab bukan.
"Apakah Indonesia negara sekuler?", saya jawab bukan.
Berarti negara Indonesia, negara bukan-bukan ?, jawab : bukan.
Negara Indonesia negara bukan, bukan, bukan (bukan 3x)!

Tetapi kalau kita introspeksi secara jujur tentang kondisi perpolitikan Indonesia saat ini, betulkah Negara Indonesia negara bukan, bukan, bukan (bukan 3x)! Menyimak proses pemilu di Indonesia saat ini, kita masyarakat dibuat bingung, geleng-geleng kepala, sedih, senyum, tertawa, trenyuh, prihatain, mengelus dada, semua perasaan yang ada dalam hati kita terwakili. Betul, gak?
Berbagai macam tingkah polah elit politik atau partai politik menyebabkan kita merasakan adanya perasaan hati tersebut. Banyak caleg stress, bunuh diri, bahkan menganulir sumbangan material/finansial yang telah diberikan pada masyarakat semasa kampanye. Ada pen-caleg-an yang hanya asal-asalan, spekulatif, sekedar keterwakilan di suatu dapil, dsb. Sehingga setelah pencontrengan harus kembali ke "habitat" aslinya, sebagai tukang parkir, tukang koran bahkan tukang becak?
Inikah potret elit politik Indonesia ?

Dari sisi partai politik tidak kalah 'serunya' beberapa partai menyatakan kadernya harus menjadi Capres, bukan sekedar Cawapres. Ada partai politik se-koalisi bercerai gara-gara tersinggung pasangannya menyarankan balon Cawapres lebih dari satu. "Itu artinya telah mengatur rumah tangga orang lain".

Terlalu banyak untuk ditampilkan prilaku 'wakil-wakil rakyat?' yang telah mewakili segala perasaan yang asa dalam hati rakyat Indonesia.

Kita jadi bertanya lagi: "Negara Indonesia negara bukan, bukan, (bukan 2x)? atau Negara Indonesia negara bukan, bukan, bukan (bukan 3x)?